Bab 3 Menghindari Riya
Orang yang ingin mencapai Tuhan SWT harus menghindarkan dirinya dari sifat riya. Riya adalah racun yang mematikan dan dapat melebur pahala (kata Ibrahim Al-Matbuli). Riya mensia-siakan pahala amal dan mematikan hati. Termasuk sebagian tanda-tanda riya adalah menganggap enak / gampang dalam melakukan ibadah. Ini bertentangan dengan watak asli manusia. Manusia pada umumnya tidak akan menganggap enak dalam melakukan ibadah kecuali bila perbuatan tersebut sesuai dengan seleranya. Bila tidak pelaksanaan ibadah akan terasa sangat berat. Termasuk riya adalah melakukan amal untuk Allah SWT tapi masih dibarengi dengan tujuan-tujuan lain. Abdul Qodir Ad-Dasthuthi berkata :
"Murnikan tujuan amalmu hanya kepada Allah. Jangan sepelekan masalah ini dengan mencampurkannya dengan hasrat-hasrat nafsumu. Bila tidak, maka amal ibadahmu akan rusak".
Pendorong amal perbuatan manusia biasanya ada dua, yaitu kepentingan dunia dan akhirat. Ini sesungguhnya juga termasuk jalan menuju riya yang sangat sulit dihindarikan. Bila kepentingan akhirat mengalahkan kepentingan duniawi, berarti amalnya masih bercampur dengan riya. Namun sebagian ulama menyatakan bahwa kepentingan akhirat yang mengalahkan kepentingan duniawi itu masih sama artinya dengan pekerjaan yang melulu / selalu didorong oleh kepentingan duniawi. Artinya amal tersebut tidak termaafkan (tidak diterima).
Contoh perbuatan yang didorong kepentingan ukhrowi dan duniawi. Misalnya seseorang punya kepentingan dengan pembesar. Kebetulan pembesar tersebut melakukan sholat jamaah di suatu masjid pada barisan terdepan. Orang itupun melakukan jamaah di masjid yang sama dan pada barisan terdepan. Niatnya selain untuk memenuhi kewajiban, juga agar kepentingannya dengan pembesar tersebut bisa tercapai. Sudah jelas bahwa niat ibadahnya bukan sedekar untuk Tuhan SWT (masih ada tujuan-tujuan yang lain). Bahkan tujuan lain yang bersifat duniawi justru tampak lebih dominan / menguasai. Karena itu, para ulama menyatakan bahwa mentauhidkan niat itu adalah wajib, agar manusia tidak terpengaruh (bisa menyatukan pikiran dan hatinya hanya untuk berhubungan kepada Tuhan SWT).
Contoh lain, orang yang melakukan ibadah agar bisa dekat kepada Tuhan SWT. Ini seperti melakukan pekerjaan yang bertujuan untuk mencari upah. Ini juga termasuk riya yang sangat halus. Sehingga para ulama menyatakan bahwa penyakit ibadah ini sangat sulit untuk dirasakan. Terkadang ada orang yang telah melakukan ibadah demikian lama dan mencapai kedudukan di sisi Tuhan SWT akan tetapi kemudian ditolak. "Kembalilah! Kamu bukan termasuk ahli ibadah". Sesungguhnya, ibadah yang benar adalah melakukan amal perbuatan semata-mata hanya untuk memenuhi perintah dan hak-hak Allah SWT.
Contoh lain dari riya adalah orang yang mengaku punya kedudukan tertentu disisi Tuhan SWT padahal ia sebenarnya belum mencapai derajat itu. Atau telah mencapai derajat yang dikatakan namun belum boleh diberitaukan. Pengakuan ini akan mendatangkan siksaan dan menghalangi orang tersebut dari kedudukan yang diklaimnya. Selamanya ia tidak akan bisa mencapai derajat yang dikatakan. Yang lain lagi adalah merasa senang bila amalnya bisa dilihat orang. Perasaan ini adalah penyakit yang sangat berbahaya. Menurut Abu Hasan As- Syadzili amal yang disertai perasaan senang seperti ini tidak bisa menambah kedudukannya disisi Tuhan SWT, melainkan justru mendatangkan murka Alah SWT dan semakin menjauhkan dari-Nya. Persoalan ini jarang disadari dan dimengerti oleh manusia. Karena itu para ulama mewajibkan seseorang untuk senantiasa merahasiakan amal perbuatan baiknya, sehingga ia kuat dan siap untuk melakukan perbuatan dengan ihlas. Terkadang memang ada seseorang yang melakukan perbuatan tertentu sehingga dia dipuji masyarakat dan dia tidak menghendaki pujian itu. Dengan itu ia mengira bahwa dirinya sudah termasuk orang yang ikhlas. Maka hal inipun juga termasuk riya. Atau ada orang yang menolak pemberian demi menjaga kehormatan diriny, dia kemudian dipuji masyarakat. Ia sendiri tidak menghendaki pujian itu tetapi kemudian memperhatikannya. Maka perbuatan inipun kembali kepada riya walaupun pada asalnya tidak ada maksud demikian.
Contoh model riya lain yang samar adalah meninggalkan amal ibadah karena manusia. Fudail ibn Iyadh berkata :
"Meninggalkan amal karena manusia adalah riya dan melakukan amal karena manusia adalah syirik. Apa yang dinamakan ikhlas adalah kamu menjaga dari keduanya".
Maksudnya, orang yang hendak melakukan ibadah kemudian diurungkan karena khawatir pujian manusia maka itu termasuk riya. Sebab ia berarti telah meninggalkan sesuatu karena manusia, bukan karena Allah SWT. Akan tetapi bila meninggalkan ibadah tersebut untuk kemudian melakukannya di tempat yang sepi agar tidak diketahui orang maka itu adalah lebih baik. Namun untuk ibadah-ibadah wajib atau bila orang yang bersangkutan termasuk pembesar atau pemuka masyarakat yang selalu diikuti, maka hal itu lebih baik dilakukan secara terang-terangan.
Contoh lain dari riya adalah menceritakan kebaikan-kebaikan dimasa lalu, tanpa ada maksud-maksud tertentu yang bisa dibenarkan menurut agama. Sesungguhnya mengungkap kembali kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan di masa lalu tanpa ada tujuan yang bisa dibenarkan, bisa merubah amal tersebut dalam bentuk riya.
Ali al-Khowash menyatakan bahwa jangan sampai seseorang mengungkit-ungkit kembali atau menceritakan amal baik yang pernah dilakukan. Sebab hal itu sama artinya dengan riya. Itu bisa melebur pahala amalnya yang telah lalu. Namun kesalahan ini bisa dipulihkan dengan cara taubat. Bila seseorang bertaubat dengan benar dan sungguh-sungguh, maka amal yang telah dilakukan akan kembali menjadi amal yang sah dengan kehendak Allah SWT. Termasuk bentuk riya lain yang amat samar adalah menghentikan senda gurau yang diperbolehkan agama, karena munculnya orang yang disegani. Fudail ibn Iyadh berkata :
"Seandainya dikabarkan padaku bahwa seorang pemimpin tinggi akan datang, kemudian aku merapikan rambut dan jenggotku, sungguh aku takut bahwa hal itu akan menyebabkan aku ditulis sebagai orang yang munafiq".
Karena itu hendaknya seseorang tidak menghentikan senda-guraunya yang diperbolehkan agama hanya karena masuknya orang yang disegani, kecuali dengan niat baik. Sesungguhnya terbukanya rahasia seseorang di tangan pemimpin atau orang yang disegani adalah lebih baik dari pada berlaku munafiq. Dan yang termasuk riya halus yang lain lagi adalah menundukkan kepala dan berlaku khusyuk karena munculnya seseorang. Ali Al-Khowash berkata :
"Bila seorang pemimpin datang dan kalian sedang bertasbih, maka jangan kamu teruskan bacaan tasbihmu kecuali dengan niat baik. Hati-hatilah, jangan bersenda gurau melupakan Allah SWT dengan buru-buru membaca tasbih begitu seseorang yang disegani muncul. Tanpa didasari niat yang baik, maka perbuatan seperti itu justru akan menghancurkan semua amal perbuatan".