Minahus Saniyah: Bab 8 Menundukkan Nafsu

Bab 8 Menundukkan Nafsu

Nafsu adalah bagian dari jiwa manusia yang selalu mengajak kepada kejahatan dan penyelewengan. Untuk bisa mencapai Hadirat Ilahy yang suci, seseorang harus mampu menundukkan dorongan-dorongan nafsu ini. Sahal At-Tastary telah berkata :

"Sejelek-jelek maksiat adalah menuruti bisikan nafsu. Banyak manusia yang tidak menyadari akan hal ini. Bila seorang murid mampu menjaga dirinya dari gejolak nafsu dan melakukan dzikir, hatinya menjadi bersinar dan terjaga. Setan akan lari menjauh, sehingga gejolak perasaannya menjadi ringan. Saat itu, ia menjadi mudah untuk menundukkannya".

Untuk menundukkan nafsu caranya dengan mengurangi makan sedikit demi sedikit. Berpuasa dan menahan lapar. Ini penting sebab gejolak nafsu memang tidak bisa ditundukkan selain dengan lapar. Dengan mengurangi makan, maka energi nafsu menjadi lemah sehingga akhirnya mudah ditundukkan.

Dalam kitabnya "Futuhat Al-Makkiyah", Muhyiddin ibn Arabi menceritakan bahwa ketika pertama kali menciptakan nafsu, Allah SWT bertanya, "Siapa Aku?". Nafsu membangkang dan balik bertanya, "Siapa pula aku ini?". Lalu Allah SWT murka, kemudian memasukkan nafsu dalam lautan lapar sampai 1000 tahun. Kemudian dientaskan dan ditanya lagi. "Siapa Aku?". Setelah dihajar dengan lapar barulah nafsu mengakui siapa dirinya dan Tuhannya. "Engkau adalah Tuhanku Yang Maha Agung, dan aku hamba-Mu yang lemah".

Sejalan dengan itu, Abu Sulaiman Ad-Daroni juga berkata yang isinya :

"Kunci dunia adalah kenyang dan kunci akherat adalah lapar".

Maksudnya adalah Allah SWT memberikan ilmu dan hikmah pada orang-orang yang lapar (berpuasa) dan menjadikan kebodohan dan tindak kemaksiatan pada mereka yang kenyang.

Makan kenyang dan nafsu adalah dua komponen yang saling mendukung. Yahya ibn Muadz Ar-Rozi menyatakan bahwa kenyang itu ibarat api, sedangkan nafsu itu ibarat kayu kering. Nafsu yang membara karena energi makanan, tidak akan mati sampai membakar habis tenaga orang yang bersangkutan. Karena itu, Sahal ibn Abdullah menyatakan :

Barang siapa yang makan lebih dari dua kali sehari, maka hendaknya ia bersiap menjadi kuda liar.

Untuk menundukkan dorongan-dorongan nafsu selain dengan lapar, juga bisa dengan bangun sholat malam (mengurangi tidur) dan melakukan amalan-amalan yang berat. Nafsu bisa diibaratkan sebagai anak sapi yang nakal. Untuk menundukkannya, maka anak sapi perlu dilaparkan, dibutakan kedua matanya dan diputar-putar pada gilingan kosong sambil dipukuli. Setelah sekian lama, maka ia akan menjadi tunduk dan penurut. Saat itu barulah dilepaskan penutup kedua matanya.

Begitu pula untuk menundukan nafsu, seseorang harus sedapat mungkin mengurangi tidurnya. Tidur itu ibarat mati. Pada waktu tidur, seseorang tidak bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat, baik untuk kepentingan dunia maupun akherat. Memilih tidur dari pada bangun untuk sholat malam, berarti sama dengan menuruti hawa nafsu. Juga merupakan petunjuk bahwa dalam diri seseorang belum ada rasa cinta kepada Allah SWT.

Sebaliknya, dengan bangun sholat malam maka akan menghancurkan dan melepaskan manusia dari empat unsur kejadiannya (air, tanah, udara dan api). Selanjutnya mereka akan mampu naik ke atas dan melihat alam malakut (alam "atas" yang tidak bisa dilihat dengan mata biasa). Sehingga ia akan semakin bergairah dalam mencari keridloan Allah SWT.

Abu Hasan Al-Azzaz menyatakan bahwa persoalan ini (manusia mampu mencapai alam malakut) itu dibangun atas tiga hal yaitu : Tidak makan sampai merasa lapar, tidak tidur sampai sangat merasa ngantuk dan tidak berbicara bila tidak perlu. Karena itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Al-Hawari bahwa seorang yang ingin masuk Hadirat Ilahy tetapi tidak meninggalkan tiga masalah yaitu pengaruh harta, makan dan tidur, maka itu berarti hanyalah omong kosong belaka.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak