Jawahirul Kalamiyah Pembahasan Pertama : Iman Kepada Allah

Pembahasan Pertama
Iman Kepada Allah Subhaanahu Wata'ala

Soal : Bagaimana cara beriman kepada Allah Subhaanahu Wata'ala?

Jawab : Yaitu hendaklah meyakini bahwa Allah Subhaanahu Wata'ala memiliki segala sifat yang sempurna dan jauh dari sifat kekurangan.

Soal : Bagaimana cara beriman kepada Allah Subhaanahu Wata'ala secara lebih rinci?

Jawab : Hendaklah meyakini bahwa Allah Subhaanahu Wata'ala memiliki sifat : Wujud (Ada), Qidam (dahulu), Baqa (Kekal), Mukhaalafatu Lilhawaadits (Berbeda dengan Makhluk), Qiyaamuhu Binafsih (Mandiri dan tidak membutuhkan yang lain), Wahdaaniyyah (Maha Esa), Hayah (Hidup), 'Ilm (Mengetahui), Qudrah (Berkuasa), Iraadah (Berkehendak), Sama' (Mendengar), Bashar (melihat), Kalam (Berbicara). Dan meyakini bahwasanya Allah itu adalah Al Hayyu (Maha Hidup), 'Aliimun (Maha Mengetahui), Qaadirun (Maha Berkuasa), Muriidun (Maha Berkehendak) Samii'un (Maha Mendengar) Bashiirun (Maha Melihat) dan Mutakallimun (Maha Berbicara).

Soal : Bagaimana cara meyakini Wujud (Keberadan) Allah SWT?

Jawab : Hendaklah meyakini bahwa Allah itu ada, dan keberadaanNya DzatNya itu ada dengan sendirinya tanpa memerlukan wasilah atau perantara. Dan meyakini bahwa keberadaanNya itu wajib adanya, tidak mungkin Dia pernah tiada.

Soal : Bagaimana cara meyakini Dahulu (Qidam) nya Allah SWT?

Jawab : Hendaklah kita meyakini bahwasanya Allah itu Maha Dahulu adaNya, yakni Allah itu ada sebelum adanya sesuatu selainNya, dan bahwasanya Dia tidak terikat waktu dan keberadaanNya tanpa awal.

Soal : Bagaimana cara meyakini Kekekalan (Baqa') Allah SWT?

Jawab : Hendaklah meyakini bahwasanya Allah itu Dzat yang kekal abadi dan kekekalanNya tersebut tanpa batas akhir. Dan hendaklah meyakini bahwasanya Dia tidak pernah berubah sama sekali serta Dia tidak pernah bersifat tiada pada pada waktu tertentu (kekekalanNya tidak terikat ruang dan waktu).

Soal : Bagaimana cara meyakini bahwa Allah itu bersifat Mukholafatu Lil Hawaadits (Berbeda dengan segala hal yang baru / makhluk )?

Jawab : Hendaklah kita meyakini bahwasanya Allah tidak menyerupai sesuatupun, baik DzatNya, sifatNya maupun perbuatanNya.

Soal : Bagaimana cara meyakini bahwa Dzat Allah itu berbeda dengan segala hal yang baru / makhluk?

Jawab : Hendaklah meyakini bahwasanya Dzat Allah itu tidaklah sama dengan makhluk ciptaanNya, berupa wajah misalnya. Segala hal yang kita lihat atau bayangkan dalam hati maka Allah tidaklah seperti bayangan tersebut. Laitsa Kamitslihi Syaiun (Tiada satupun yang serupadenganNya).

Soal : Bagaimana cara meyakini bahwa Sifat Allah itu berbeda dengan sifat segala hal yang baru / makhluk ?

Jawab : Hendaklah meyakini bahwasanya 'ilmu (pengetahuan) kita tidak sama dengan pengetahuan Allah, Qudrah (Kekuasaan) kita tidak sama dengan kekuasaan Allah, Iradah (kehendak) kita tidak sama dengan kehendak Allah, Hayah (sifat hidup) kita tidak sama dengan sifat hidupnya Allah, sifat mendengar (Sama') kita tidak sama dengan sifat mendengar Allah, Bashar (sifat melihat) kita tidak sama dengan pendengaran Allah dan Kalam (sifat berbicara) kita tidak sama dengan sifat kalam Allah.

Soal : Bagaimana cara meyakini bahwa Perbuatan Allah itu berbeda dengan perbuatan segala hal yang baru / makhluk?

Jawab : Hendaklah kita meyakini bahwasanya perbuatan Allah Subhanahu Wata'ala tidak serupa dengan perbuatan makhluqNya, karena Dia dalam berbuat sesuatu tidak membutuhkan perantara maupun alat. Firman Allah dalam surat yasin Ayat 82 :

“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia.
Dan hendaklah meyakini, bahwasanya Allah menciptakan sesuatu tidak berarti karena Dia membutuhkannya. Juga kita harus meyakini bahwa Dia tidak menciptakan sesuatu dengan sia-sia atau tanpa guna, karena Dia bersifat Maha Bijaksana.

Soal : Bagaimana cara meyakini Kemandirian Allah (Qiyamuhu Binafsihi) ?

Jawab : Hendaklah kita meyakini bahwasanya Allah Subhaanahu Wata'ala tidak membutuhkan sesuatu apapun, Dia tidak butuh tempat dan tidak membutuhkan makhluk sama sekali. Dia Maha Kaya dan tidak membutuhkan apapun, bahkan segala sesuatu lah yang membutuhkan Allah Subhaanahu Wata'ala.

Soal : Bagaimana cara meyakini Kehidupan Allah (Hayah)?

Jawab : Hendaklah kita meyakini bahwasanya Allah Subhaanahu Wata'ala Maha Hidup dan bahwa kehihidupan Allah tidak seperti hidup kita. Karena sesungguhnya kehidupan kita membutuhkan perantara seperti mengalirnya darah dan nafas sedangkan kehidupan Allah tanpa memerlukan apapun. Kehidupan Allah itu bersifat dahulu (Qodim), kekal (Baqo') dan kehidupanNya tiada pernah hilang maupun berubah sama sekali.

Soal : Bagaimana cara meyakini bahwa Allah itu bersifat Wahdaniyyah (Maha Esa)?

Jawab : Hendaklah kita meyakini bahwasanya Allah itu Satu dan tidak memiliki teman atau sekutu. Tidak ada yang menyamai maupun menyerupaiNya. Tiada lawan yang sebanding maupun penggantiNya.

Soal : Bagaimana cara meyakini bahwa Allah itu bersifat 'Ilm (Maha Berpengetahuan)?

Jawab : Hendaklah kita meyakini bahwasanya Allah itu memiliki sifat Maha Berpengetahuan dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Mengetahui segala hal, baik yang tampak maupun yang tidak. Dia mengetahui jumlah pasir, titik air hujan maupun daun pepohonan. Dia Mengetahui hal yang rahasia maupun yang jelas. Tidak ada yang bisa bersembunyi dari Nya. Dan hendaklah kita meyakini bahwasanya pengetahuan Allah itu tidak membutuhkan usaha meraihnya, namun pengetahuan Allah akan segala sesuatu itu telah ada sejak zaman azali sebelum sesuatu itu ada.

Soal : Bagaimana cara meyakini Ke Maha Kuasaan Allah SWT?

Jawab : Hendaklah kita meyakini bahwa Allah itu memiliki sifat Maha Kuasa dan bahwasanya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Soal : Bagaimana cara meyakini bahwa Allah itu Maha Berkehendak (Iradah)?

Jawab : Hendaklah kita meyakini bahwa Allah itu memiliki sifat Iradah (Maha Berkehendak) dan Dia lah segala tujuan, tidak ada sesuatupun yang dapat terjadi tanpa kehendak Nya. Maka apa saja yang Dia kehendaki maka akan terjadi dan apapun yang tiada dikehendakiNya, maka tidak mungkin akan ada atau terjadi.

Soal : Bagaimana cara meyakini bahwa Allah itu Maha Mendengar (Sama')?

Jawab : Hendaklah kita meyakini bahwasanya Allah itu bersifat Maha Mendengar dan sesungguhnya Allah mendengar segala sesuatu baik nampak atau pun yang tersembunyi. Namun, pendengaran Allah Subhanaahu Wata'ala tidak seperti pendengaran kita , karena pendengaran kita sebagai makhluk memerlukan alat perantara berupa telinga sedangkan pendengaran Allah tanpa memerlukan perantara apapun.

Soal : Bagaimana cara meyakini bahwa Allah itu Maha Melihat (Bashar)?

Jawab : Hendaklah kita meyakini bahwasanya Allah itu bersifat Maha Melihat , dan Dia Maha Melihat atas segala sesuatu. Dia Maha Melihat hingga semut hitam kecil berjalan di malam gelap gulita sekalipun, bahkan yang lebih kecil dari itu (atom). Tidak ada yang dapat bersembunyi dari penglihatan Allah, baik yang ada di bumi maupun di luarnya, baik yang ada di langit maupun di luarnya. Namun, penglihatan Allah berbeda dengan kita sebagai makhluk. Sesungguhnya penglihatan kita membutuhkan perantara yakni mata, sedangkan penglihatan Allah tanpa membutuhkan alat perantara.

Soal : Bagaimana cara meyakini bahwa Allah itu Maha Berbicara (Kalam)?

Jawab : Hendaklah kita meyakini bahwa Allah itu bersifat Maha Berbicara. Akan tetapi kalam Allah tidak sama dengan kita sebagai makhluk Nya. Sesungguhnya pembicaraan kita diciptakan dalam diri kita dan membutuhkan alat perantara berupa mulut, lidah serta kedua bibir. Sedangkan Kalam Allah tidak seperti itu (tidak butuh alat perantara).

Soal : Beritahukan kepada kami apa sajakah sifat mustahil yang tidak mungkin dimiliki Alloh SWT?

Jawab : Yaitu semua sifat yang mustahil bagi Allah. Maksudnya adalah segala sifat yang tidak mungkin dimiliki Oleh Allah. Yaitu diantaranya : 'Adam (tiada), huduts (baru ada), Fana' (binasa), mumatsalatu lilhawaadits (serupa dengan makhluqNya), Ihtiyaaju lighairihi (membutuhkan kepada selainNya), Wujuudus Syarki (adanya sekutu), Al 'ajz (Lemah), Karohiyah (terpaksa, maksudnya terjadinya sesuatu tanpa kehendakNya), Al Jahl(bodoh) dan sifat buruk lainnya. Dan sesungguhnya Allah tidak bersifat hal2 di atas karena itu adalah sifat kekurangan. Dan Allah Subhaanahu Wata'ala tidaklah bersifat kecuali dengan sifat yang sempurna.

Soal : Mohon diterangkan sifat yang boleh (Jaiz) ada pada Allah Subhaanahu Wata'ala!

Jawab : Yaitu sifat melakukan Fi'lu Kulli Mumkinin Aw Tarkuhu (Melakukan sesuatu atau pun meninggalkannya). Seperti menciptakan manusia dalam keadaan kaya atau sebaliknya yakni miskin, memberi kesehatan atau sakit dan lain sebagainya.

Soal : Apa maksud lafadz “ Istawa'” pada firman Allah : Arrahmaanu 'Ala Al 'Arsy Istawaa (Surah Thaha :5)?

Jawab : Yg dimaksud dengan kata Istiwa adalah Istiwa yang pantas bagi keagungan Allah Ta'ala yang Maha Pengasih. Makna Istiwa' sudah diketahui (Ma'lum) tapi bagaimana itu dilakukan Allah, tidak diketahui (Majhul) dan tidak perlu dipertanyakan. Istiwa' Allah atas 'Arsy tidak serupa dengan bersemayamnya manusia diatas perahu, hewan tunggangan ataupun kendaraan. Barangsiapa menggambarkan Allah seperti itu, maka dia telah terkena penyakit wahm (angan2 yang sia2) karena ia telah menyerupakan Pencipta (Allah) dengan CiptaanNya (Makhluk), padahal telah jelas berdasarkan akal dan dalil (Naql) bahwa Allah tidak menyerupai sesuatupun. Maka sebagaimana dzat Allah tidak menyerupai sesuatupun dari ciptaanNya, maka segala hal yang disandarkan kepada Allah tidak mungkin serupa dengan segala hal yang ada pada makhluk.

Soal : Apakah mungkin dikatakan bahwa Allah itu memiliki dua tangan, mata dan selainnya?

Jawab : Telah disebutkan hal tentang penyandaran satu tangan kepada Allah dalam firman Nya :

“Tangan (kekuasaan) Allah berada di atas tangan orang2 itu” (Surah Al Fath :10)
Dan ayat tentang penyandaran dua tangan kepada Allah dalam firmanNya :
"Apa yang mencegahmu untuk bersujud kepada Dzat yang telah menciptakanmu dengan kedua tanganNya (KekuasaanNya)?" (Surah Shad : 75)
Dan ayat tentang penyandaran “mata” kepada Allah dalam firman Nya :
“Dan bersabarlah akan hukum tuhanmu dengan kedua mataKu (perlindunganKu)”(Surah At Thuur : 48)
Adalah tidak boleh menyandarkan kepada Allah kecuali apa yang telah ditetapkanNya dalam kitab yang telah diturunkanNya atau yang telah ditetapkan oleh utusanNya.

Soal : Apakah yang dimaksud dengan lafadz Yad(tangan) pada ayat tersebut diatas?

Jawab : Yg dimaksud dengan lafadz Yad (tangan) pada ayat di atas adalah arti yang pantas bagi Allah Subhaanahu Wata'ala, begitupun dengan lafadz A'yun (mata). Karena segala hal yang disandarkan kepada Allah Subhaanahu Wata'ala maka tidak akan sama dengan sesuatu yang disandarkan pada makhluk. Barangsiapa meyakini bahwa Allah memiliki tangan seperti tangan makhluqNya atau meyakini Allah bermata sebagaimana mata makhluqNya, maka dia telah terkena penyakit wahm (angan sia-sia) karena telah menyerupakan Allah dengan ciptaanNya, padahal Tiada suatupun yang serupa dengan Allah Subhaanahu Wata'ala.

Soal : Kepada siapa pendapat di atas – yakni tentang makna kata-kata istiwa', yadain dan A'yun – disandarkan?

Jawab : Pendapat yang telah diuraikan di atas tersebut adalah pendapat ulama Salaf (terdahulu). Adapun Ulama khalaf (yang datang kemudian) mayoritas menafsirkan lafadz Istiwa' dengan arti “ Istiila' ” (menguasai), Menafsirkan kata “Yad” dengan nikmat atau kekuasaan serta lafadz A'yun dengan Penjagaan (Hifdz) dan Pemelihara (Ri'ayah). Hal itu karena kebanyakan ulama khalaf tersebut khawatir jika kata-kata tersebut tidak ditakwil atau digeser dari makna dzahirnya maka akan terkena pemahaman “Tasybih” (menyerupakan Allah dengan CiptaanNya). Padahal baik Ulama Salaf maupun Khalaf telah sepakat, siapa saja yang menyerupakan Allah dengan makhluqNya maka dia “Sesat” (Dhallun). Sebagian dari mereka mengatakan bahwa termasuk ke dalam tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk ) jika tidak ada dalil 'aqli dan Naqli yang menunjukkan bahwa orang tersebut meyakini tanziih ( kesucian Allah ). Barang siapa menyerupakan Allah dengan makhlukNya (menganggap Allah itu bertangan, bermata, duduk dan lain sebagainya) maka pendapat itu berasal dari dirinya sendiri (bukan pendapat Ulama Salaf maupun Khalaf).

Soal : Bagaimana mungkin kita menetapkan sesuatu (meyakini makna ayat Mutasyabihat apa adanya), lantas kita mengatakan “Bagaimana Allah melakukannya itu tidak diketahui?

Jawab : Hal itu bukanlah sesuatu yang aneh karena sesungguhnya kita mengetahui bahwa diri kita memiliki sifat seperti berilmu, berkemampuan, berkehendak-di sisi lain kita tidak mengetahui cara terjadinya sifat2 tersebut. Sebaliknya, kita mendengar dan melihat tanpa tahu bagaimana bisa pendengaran dan penglihatan itu terjadi. Bahkan sesunguhnya kita berbicara dan tidak tahu bagaimana pembicaraan itu bisa keluar. Jika kita mengetahui bagaimana caranya hal itu terjadi maka hilanglah keraguan kita. Dan banyak lagi hal yang serupa. Jika hal2 tersebut di atas disandarkan pada diri kita (sementara kita tidak dapat memahaminya), maka bagaimana pula halnya jika perkara tersebut disandarkan pada Allah Subhaanahu Wata'ala.

Soal : Diantara dua pendapat tersebut, manakah yang paling rajih (kuat)?

Jawab : Pendapat Ulama salaf (terdahulu) lah yang paling kuat karena lebih aman dan kuat. Adapun madzhab khalaf (ulama terkini), maka kita boleh memakainya saat dlarurat dan hal itu berlaku bagi sebagian manusia yang dikhawatirkan terjatuh pada keyakinan Tasybih (menyerupakan Allah dengan makhlukNya), jika kalimat2 di atas tidak ditakwilkan bagi mereka. Maka menakwilkan hal tersebut di atas dibolehkan menurut pendapat yang masyhur.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak