Bab 1 Taubat Secara Benar
Taubat secara etimologis adalah meninggalkan, maksudnya meninggalkan perbuatan-perbuatan yang terlarang untuk kemudian menggantinya dengan perbuatan yang terpuji menurut syariat. Taubat itu mempunyai tahapan-tahapan. Tahap pertama, seseorang harus bertaubat kepada Allah SWT dari melakukan dosa-dosa besar, kemudian bertaubat dari dosa kecil, perkara makruh, dan perbuatan yang kurang baik. Selanjutnya secara berurutan bertaubat dari anggapan-anggapan bahwa dirinya adalah orang baik, bertaubat dari anggapan bahwa dirinya termasuk kekasih Tuhan, bertaubat dari anggapan bahwa dirinya telah benar dalam melakukan taubat dan bertaubat dari segala kehendak hati yang tidak diridlai Allah SWT. Puncaknya seseorang bertaubat dari lupa bermusyahadah (mengingat) kepada Allah SWT walau sekejap.
Cara bertaubat pada dasarnya cukup dengan menyesali dan mengakui dosa-dosa yang dilakukan. Ini seperti yang terjadi dengan taubat Nabi Adam ketika ia terlanjur melakukan perbuatan yang dilarang. Adapun sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa taubat harus disertai dengan niat yang kuat untuk tidak mengulangi lagi (penyataan itu adalah hasil ijtihad). Sebab orang yang benar-benar menyesal tentu tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Dengan taubat yang sungguh-sungguh, segala kesalahan dan dosa yang berhubungan dengan Tuhan akan diampuni. Begitu pula tindakan dzalim terhadap diri sendiri, kecuali syirik dan segala yang berhubungan dengan sesama manusia. Untuk yang disebut terakhir, Allah SWT tidak akan mengampuni selama orang yang bersangkutan belum meminta maaf kepada orang yang disalahi.
Al-Matbuli meletakkan masalah taubat ini dalam bahasan pertama karena taubat adalah sesuatu yang sangat penting dalam Agama Islam. Taubat adalah pondasi dari segala perbuatan manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan SWT. Tanpa dilandasi taubat yang baik dan benar, seseorang yang ingin menggapai Tuhan adalah seperti orang yang membangun rumah megah diatas tanah labil dan goyah (Akan mudah hancur). Sebaliknya siapa yang benar cara taubatnya maka berarti kuat pondasinya. Karena itu sebagian ulama menyatakan bahwa :
"Siapa yang memperkuat taubatnya, Allah SWT akan menjaganya dari segala yang merusak kesucian amalnya".
Demikianlah taubat mempunyai kedudukan dan pengaruh yang sangat besar bagi amal-amal manusia selanjutnya. Ia sebanding dengan zuhud yang akan menjaga manusia dari segala sesuatu yang bisa menghalangi kedekatannya kepada Allah SWT. Karena itu bila seseorang tidak benar dalam cara taubatnya maka hal itu justru akan menjatuhkan dan menghancurkan maqam (kedudukannya di sisi Allah SWT) yang lain. Apa yang telah dilakukannya menjadi ringkih seperti bangunan rumah dengan hanya susunan bata tanpa perekat semen.
Muhammad ibn Inan menyatakan, siapa yang benar cara taubatnya maka itu akan bisa meningkatkan kedudukannya di sisi Tuhan SWT. Sebaliknya siapa yang tidak benar dalam tata cara taubatnya, maka semuanya hanyalah omong kosong. Ia tidak akan mampu menjaga keinginan-keinginan nafsunya. Bahkan ia tidak akan mampu menjaga pikiran-pikiran kotornya, walaupun saat sedang melakukan shalat. Allah SWT sendiri memerintahkan kepada Rasul dan umatnya untuk bertaubat dengan benar dan lurus sebagaimana di dalam firman-Nya :
"Tetaplah kamu pada jalan yang benar dalam bertaubat sebagaimana yang telah diperintahkan dan orang-orang yang bertaubat bersamamu". (Al Quran Surah Hud-112)
Ali al-Khawash juga menyatakan bahwa barang siapa yang benar dalam cara bertaubat kepada Allah SWT dan zuhud, akan tergapai semua kedudukan (maqam) dan perbuatannya akan menjadi baik. Karena itu seseorang yang ingin menggapai kedudukan tinggi di sisi Tuhan SWT, hendaknya selalu meneliti dirinya, apakah ia telah melakukan hukum-hukum Tuhan? Apakah anggota badannya (mata, kaki, tangan dan lisannya) telah melaksanakan sesuatu yang diperintahkan Allah SWT? Bila mendapati dirinya telah melakukannya dengan benar, maka bersyukurlah tetapi jangan merasa telah baik. Sebaliknya, bila mendapati dirinya masih berlumuran dosa dan kesalahan, segeralah istighfar dan menyesalinya kemudian bersyukur kepada Allah SWT bahwa ia belum terlanjur dalam perbuatan yang lebih parah dan Allah SWT belum memberikan adzab atau penyakit. Sebab badan yang melakukan maksiat berhak menerima siksaan.
Selain itu, untuk mencapai Allah SWT seseorang juga harus meninggalkan pengaruh dunia. Allah SWT sendiri tidak pernah memperhatikan dunia sejak penciptaannya karena ketidaksukaan-Nya. Rasulullah pernah menyatakan bahwa :
"Cinta harta dan kedudukan itu mudah menimbulkan sifat munafiq, sebagaimana air mudah menumbuhkan sayur-sayuran".
Imam al-Tsaury menyatakan bahwa seandainya seseorang beribadah dengan menjalankan semua perintah-Nya tetapi dalam hatinya masih terbetik rasa cinta pada dunia, maka di akherat kelak akan diumumkan :
"Inilah fulan yang sewaktu di dunia mencintai sesuatu yang tidak disenangi Allah SWT".
Mendengar pengumuman itu wajahnya seakan terkelupas karena saking malunya. Yang dimaksud cinta dunia disini adalah menggunakan sarana harta dunia secara berlebihan melebihi ketentuan syariat. Abu Hasan Ali ibn Muzayyin pernah menyatakan bahwa seandainya kalian "mensucikan" seseorang sehingga menjadikannya sebagai al-shiddiq, tetapi dalam hati orang tersebut masih terbetik cinta dunia, maka Allah SWT tidak akan memperdulikannya. Ia tidak punya kedudukan disisi Tuhan. Bagaimana jika harta yang ada tersebut dipersiapkan untuk memberi nafkah pada keluarga dan familinya? "Sama saja" jawab Abu Hasan. Kebanyakan ahli tariqat rusak adalah karena dalam hatinya ada rasa senang terhadap kemewahan dan kenikmatan dunia. Melimpahnya harta untuk memberi nafkah terhadap keluarga dan famili sebenarnya tidaklah salah. Akan tetapi hati yang telah kerasukan cinta dunia akan bisa menghalangi bahkan memutuskan hubungan dia dengan Tuhan SWT.
Sejalan dengan hal itu, Abu Hasan As-Syadzili menyatakan bahwa seorang murid (orang yang menempuh jalan Tuhan) tidak akan bisa naik derajatnya manakala belum benar-benar mencintai Tuhan SWT. Dan Tuhan tidak akan menerima cintanya selama ia belum bisa meninggalkan pengaruh dunia dan bayangan kenikmatan surga. Cinta Tuhan kepadanya tergantung seberapa besar seseorang mengosongkan hatinya dari pengaruh dunia untuk mencintai-Nya. Karena itu untuk menuju kepada-Nya, pertama seseorang harus meninggalkan dan mengosongkan hatinya dari pengaruh dunia. Ketika masuk tariqat yaitu ketika berbaiat kepada guru pembimbing (Guru Mursyid) seseorang harus benar-benar telah mengosongkan hatinya dari pengaruh dunia. Jika tidak (yaitu jika dalam hatinya masih bersemayam nafsu-nafsu duniawi) ia akan terlempar. Karena itu di dalam tariqat, pertama kali yang diajarkan dan ditanamkan pada murid haruslah sikap zuhud. Sebab orang yang tidak zuhud tidak akan bisa membangun sesuatu di akhirat. Syekh Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata :
"Siapa yang menghendaki akhirat, maka ia harus zuhud dunia. Siapa yang menghendaki Allah SWT, maka ia harus zuhud akhirat. Siapa yang dalam hatinya masih ada cinta dunia (kedudukan, perkawinan, pakaian, makanan dan sebagainya), maka ia bukanlah pecinta akhirat. Ia masih mengikuti nafsunya".
Sejalan dengan itu, Abu Abdullah al-Maghribi menyatakan bahwa orang fakir yang tidak banyak melakukan amal masih lebih baik dari pada ahli ibadah tetapi bergelimang harta. Amal yang sedikit dari orang fakir yang tidak tersibukkan dunia itu bahkan lebih baik dari pada amal yang menggunung dari seseorang yang hatinya sibuk memikirkan dunia.
Abu al-Mawahib al-Syadzili juga menyatakan bahwa ibadah yang disertai cinta dunia hanya melelahkan hati dan badan. Ia kelihatan banyak padahal sedikit. Ia hanya tampak banyak menurut orang yang melakukannya. Ibadah yang seperti itu bagaikan raga tanpa nyawa (kosong tanpa isi). Karena itu telah banyak kita saksikan orang yang berpuasa, shalat malam dan haji tetapi tidak pernah mampu merasakan manisnya beribadah karena tidak ada cahaya zuhud dalam hatinya.
Apa yang dimaksud zuhud? Zuhud adalah mengosongkan hati dan pikiran dari pengaruh dunia. Namun hal ini bukan berarti seseorang harus mengosongkan tangannya dari menguasai harta. Sebab Allah SWT dan Rasul-Nya tidak pernah melarang umatnya melakukan transaksi dan berbisnis. Tidak pernah seorang pun dilarang untuk melakukan hal tersebut. Akan tetapi sebagian sahabat dan tabiin memang banyak yang meninggalkan sama sekali dan menampakkan ketidaksukaannya terhadap urusan dan kemewahan dunia. Hal itu dimaksudkan agar orang kebanyakan (orang awam) itu mau dan bisa mengikuti mereka. Mereka khawatir dengan kehidupan yang mewah dan bergelimang harta, maka orang awam yang tidak mengerti akan mudah terjebak dalam masalah dunia ini (menjadi lupa terhadap Tuhan SWT) ketika mengikuti perilaku dari para shahabat.
Sesungguhnya orang yang sempurna (insan kamil) tidak akan tersibukkan oleh apapun kecuali Allah SWT, walau dia bergelimang harta. Berbeda dengan orang awam. Karena itu berhati hatilah bila melihat orang besar yang menjadi panutan hidup dalam kemewahan dan kenikmatan. Jika khawatir bahwa hal itu akan dianut / diikuti oleh masyarakat umum tanpa tahu maksud yang sebenarnya, maka ia harus segera diperingatkan. Tentu saja kemewahan dan kekayaan orang besar tersebut dari harta halal. Bila dari harta haram, maka ia harus "disingkirkan". Dengan demikian zuhud adalah melepaskan hati dari pengaruh dunia. Maksudnya ia tidak bersikap kikir terhadap peminta dan tidak tersibukkan oleh kegiatan-kegiatan duniawi sehingga akan lupa pada Tuhan SWT.